MESIN WAKTU PAMERAN FOTO “KEBAJA SAJA”
Bagian 1.
Berkunjung ke Pameran Foto yang berjudul “Kebaja Saja” di Galeri Foto Antara, Pasar Baru, Jakarta, seolah-olah berjalan di “mesin waktu”. Menyusuri perjalanan “sang kebaja” hingga ke “kebaya jaman now”, mulai dari tahun 1900an hingga yang mutakhir tahun 2022, kita seperti melintasi masa perjalanan kebaya. Bahkan ada satu foto circa 1880, sehingga kita akan menjadi yakin bahwa tradisi berkebaya memang merupakan tradisi dari para lelulur kita dan saya menjadi paham mengapa penyelenggara mengambil judul dengan menggunakan ejaan lama “Kebaja Saja” (Kebaya Saya). Cocok juga pameran ini diberi judul “Kebaya Melintasi Masa”, seperti judul buku yang ditulis ramai-ramai oleh 28 penulis pecinta kebaya yang dibimbing oleh mbak Soesi Sastro, karena foto-foto yang dipamerkan memperlihatkan kebaya yang melintasi berbagai era.
Dari foto-foto yang dipamerkan, saya melihat bahwa jenis “kebaja” pada awal abad 20 (tahun 1900an) lebih banyak kebaya berupa model “kebaja Kartini” dengan bukaan depan tanpa kancing tetapi dikatupkan di depan dengan peniti atau dengan bros peniti.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebaya mengalami “evolusi” karena mengalami perubahan model dan fungsi. Ada foto yang memperlihatkan perempuan Belanda juga memakai kebaya tetapi jenis “kebaya noni” yang berenda di pinggir kebaya. Tetapi yang tidak berubah adalah kain bawahannya yang tetap dipakai sebagai satu-kesatuan untuk mendapatkan “the kebaya look” atau “berkain-kebaya”
Kemudian beranjak ke tahun 1930an, saya perhatikan kebaya model kutubaru mulai muncul dengan gambar yang menunjukkan Gusti Nurul dengan “sisters”nya memakai kebaya kutubaru.
Bergerak lebih maju lagi, ada foto tahun 1966 dan masih foto hitam-putih, yang memperlihatkan Gerakan Wanita Marhaenis, puluhan perempuan memakai kain-kebaya dan jika diperhatikan lebih detail, ada salah satu dari perempuan itu memakai kebaya yang “bersaku” di bagian kanan depan. Entah isi kantongnya apa, ada sesuatu yang muncul dari sakunya itu, tetapi pasti bukan handphone (itu tahun 1966!).
Bagian 2.
Menelusuri pameran foto di Galeri ini harus mengikuti arah jarum jam, menyusuri dinding kiri ruangan yang ditata secara kronologis foto-foto besar tentang kebaya mulai dari yang paling awal tahun 1910 hingga yang mutakhir ke tahun 2022. Foto-foto yang lebih baru terletak di ruangan sebelahnya.
Namun di tengah ruangan di depan tangga yang menuju ke lantai dua, terdapat panel yang terpasang empat foto suasana proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Tentu ada sosok Bung Karno dan Bung Hatta, yang sudah pasti kita kenal tetapi tahukah Anda bahwa di antara bapak-bapak yang berkumpul saat pembacaan teks proklamasi, ada satu sosok perempuan yang bernama SK Trimurti yang memakai kain-kebaya? Ya, nama lengkapnya Ibu Soerastri Karma Trimurti yang merupakan jurnalis pejuang kemerdekaan pada zaman itu, hebat ya! Ibu SK Trimurti adalah istri dari Sayuti Melik yang juga berperan penting di awal persiapan kemerdekaan Indonesia.
Ibu SK Trimurti terlihat di barisan depan nomor 2 dari kiri.
Menurut catatan sejarah, ibu SK Trimurti menolak untuk ikut mengibarkan bendera saat proklamasi dan sebagai jurnalis Ibu Trimurti lebih memilih “tugas” menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia melalui tulisannya.
Alhasil yang mengibarkan bendera hanya Abdul Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo dan satu orang tentara. Dari foto yang terpasang, kita bisa melihat ada beberapa perempuan yang ikut menjadi saksi pengibaran bendera saat proklamasi kemerdekaan, dan tentu saja mereka berkebaya.
Selanjutnya kita melangkah ke era pasca kemerdekaan dan langsung loncat ke tahun 1966, yang sudah saya sebutkan sebelumnya mengenai foto perempuan Wanita Marhaenis yang berkebaya. Kemudian masuk masa Orde Baru, foto Ibu Tien Soeharto menjadi “ikon” kebaya kutu baru dengan kebaya motif bunga, selendang disampirkan di bahu,yang ‘diikat’ secara longgar di ujung bawah selendang dan tentu Ibu Tien berkain batik yang ada wironnya. Tak ketinggalan, Ibu Tien selalu bersanggul Jawa yang apik.
Namun agak mengejutkan di antara foto-foto “kuno” itu, pada dinding pojok ruangan terselip satu foto besar penyanyi Agnes Monica (atau Agnez Mo), yang memakai “kebaya” karya Anne Avanti. Hmmm, tetapi sepertinya bukan kebaya, karena sudah “jauh” dari garis dasar kebaya: tidak ada bukaan depan, “berbuntut panjang” dan dikenakan dengan celana panjang yang ketat. Modifikasi kebaya hasil kreasi designer memang tidak bisa dibatasi, ya itulah kebebasan berekspresi dan berkreasi.
Pindah ke ruangan kedua, kita akan disuguhi foto-foto ibu negara (dan Presiden perempuan pertama) pasca reformasi yang juga berukuran besar, (life-size photo) mulai dari Ibu Ainun Habibie, Ibu Sinta Nuriah, Ibu Megawati Soekarnoputri, Ibu Ani Yudhoyono bersama Ibu Herawati Budiono, Ibu Mufidah Jusuf Kalla, dan Ibu Iriana Joko Widodo, semua dengan masing-masing gaya kebaya cantiknya.
Deretan terakhir pada dinding di sebrang foto-foto ibu negara, disajikan foto terbaru dari berbagai komunitas pecinta kebaya dengan aneka kegiatannya dan penuh warna karena era ini sudah era foto berwarna sehingga fotonya lebih hidup dan dapat berkisah, seolah bertutur: Kebaja saja, adalah saja.