APA KABAR KEBAYA DAN UNESCO?
Oleh Indiah Marsaban, pengajar di FIB UI & Pegiat Budaya
Tanggal 31 Maret 2023 adalah batas waktu penyerahan dossier (berkas) nominasi suatu elemen budaya yang diajukan kepada UNESCO untuk dicatatkan pada Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity (ICH) – UNESCO.
Sebagaimana diketahui, Indonesia bersama 4 negara Asia Tenggara yakni Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Thailand menominasikan secara bersama-sama elemen budaya Kebaya ke UNESCO untuk diusulkan masuk dalam daftar ICH UNESCO dengan judul dossier: KEBAYA: KNOWLEDGE, SKILLS, TRADITION AND PRACTICE.
Karena saya ‘penasaran’ terkait dengan nominasi ini, saya menyempatkan bertanya kepada Dr. Itje Chodidjah, Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) mengenai proses joint nomination ini dan Ibu Itje menjelaskan bahwa “so far lancar-lancar saja” katanya. Sebagai Ketua KNIU semua dokumen yang diajukan oleh Indonesia ke UNESCO pasti akan melalui Ibu Itje dan untuk nominasi bersama ini dikoordinir oleh Singapore (National Heritage Board) dan Malaysia. Semoga saja dossiernya bisa diterima dengan baik dan tidak banyak permintaan revisi oleh pihak UNESCO sehingga bisa “direstui” untuk masuk daftar ICH pada tahun 2024.
Jika meninjau judul dossier yang diajukan ke UNESCO yakni “pengetahuan, ketrampilan, tradisi dan praktik yang terkait dengan kebaya” maka ini berarti yang diajukan bukan sekedar kebaya sebagai pakaian saja tetapi meliputi “banyak aspek yang terkandung dalam sehelai kebaya”.
Jika dikulik dari judul dossier, yang dimaksud “pengetahuan mengenai kebaya” (knowledge) bisa mencakup sejarah, nilai, makna dan falsafah yang terlahir dari selembar kebaya dan ini tidak terbatas di wilayah Indonesia saja tetapi juga lintas geografi di Kawasan Asia Tenggara yang juga terdapat budaya berkebaya sebagai shared culture.
Jika mengulas tentang Skills, Tradition and Practice terkait kebaya, tentu Indonesia memiliki daftar yang panjang dan kaya mengenai ketrampilan, tradisi dan praktik berkebaya. Lalu apa yang kita bisa lakukan untuk mendukung komitmen Indonesia dalam melakukan “safeguarding the kebaya” atau menjaga dan merawat budaya kebaya?
Coba lihat apa yang dilakukan oleh The National Heritage Board- Singapore (Dewan Warisan Budaya Singapore). Mereka meluncurkan eksibisi untuk menggaungkan kebaya sebagai shared culture di Asia Tenggara mulai hari Selasa, 4 April 2023 hingga 23 April, kemudian pameran dipindahkan ke Gardens by the Bay dari 26 April hingga 14 Mei dan lanjut di Our Tampines Hub dari 16 Mei hingga 24 Mei. Pameran keliling ini merupakan rangkaian kegiatan setelah penyerahan dossier nominasi bersama kebaya ke UNESCO pada akhir Maret lalu.
Sebagaimana dikutip dari The Straits Times, eksibisi yang diberi judul “Love, Kebaya” memamerkan enam desain kebaya yang unik hasil rancangan pengrajin lokal dan sekaligus menggelar pameran foto perempuan berkebaya. Para perempuan yang digambarkan dalam pameran foto ini terdiri dari berbagai komunitas etnis Melayu, Peranakan dan keturunan Eurasian.
Rangkaian foto yang disajikan menjadi suatu “timeline” yang memperlihatkan evolusi kebaya di berbagai era, mulai dari penggunaannya dalam seni pertunjukan tradisional dan festival budaya hingga dikenakan sebagai pakaian kasual dan pernikahan. Di Jakarta pada Agustus 2022 juga pernah diadakan pameran foto serupa yang diberi judul “Kebaja Saja” (ejaan lama untuk penulisan ‘Kebaya Saya’) yang menyajikan foto perempuan berkebaya pada berbagai zaman di Indonesia, mulai tahun 1880 hingga masa kini. (lihat tulisan saya https://kebayaindonesia.org/ceritakebaya/mesin-waktu-pameran-foto-kebaja-saja/
Menurut The Straits Times, di Singapura terdapat 51 komunitas sebagai pemangku kepentingan “kebaya”, yang dikenal dengan nama Kawan Kebaya, yang aktif menyelenggarakan diskusi kelompok terpumpun (FGD) untuk berbagi informasi dan edukasi tentang kebaya dalam persiapan nominasi. Komunitas ini juga mengusulkan langkah-langkah untuk menjaga budaya kebaya dan memberikan dukungan untuk mempromosikan budaya berkebaya di Singapura.
Anggota Kawan Kebaya termasuk Mr Raymond Wong, desainer dan pengrajin Rumah Kim Choo dan dosen desain fashion dan tekstil di Lasalle College of the Arts, serta Ms Oniatta Effendi, pegiat budaya dan pendiri ‘Baju by Oniatta’.
Tahun ini, Oniatta meluncurkan koleksi terbarunya berjudul Fertil (Kesuburan), di mana Dewan NHB memilih kebaya kemben biru tua untuk ditampilkan. Oniatta menyakini bahwa kebaya dapat berkembang dari waktu ke waktu tanpa menghilangkan “penghormatan” pada potongan siluet klasik dari suatu kebaya. Kalau di Indonesia mungkin istilah ‘klasik’ lebih dikenal dengan istilah ‘pakem’ sebagai suatu standar berkebaya yang diwariskan oleh leluhur kita.
Menurut Oniatta, banyak dari kita tumbuh melihat kebaya yang dikenakan oleh ibu dan nenek kita. Ini mewakili budaya dan identitas kita dan menjadi simbol pemberdayaan, aspirasi, karakter dan memori kita” katanya. “Ini mencerminkan jiwa dan roh budaya. Melalui nominasi ini, kita dapat memperkuat ikatan dan persahabatan serta merayakan ‘kesuburan’ atau kelimpahan kekayaan budaya di kawasan ini.”
Selain itu, Mr Wong mengatakan: “Pameran ini merupakan pengakuan atas sejarah bersama para pengrajin bordir sulaman dan pembuat kebaya di masa lalu dan masa kini. Saya berharap generasi muda akan merasa bangga mengenakan kebaya.”
Pameran keliling ini bertujuan untuk melibatkan masyarakat selama proses nominasi ke UNESCO, sebagai bagian dari upaya NHB untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat. “Kami akan terus mempromosikan kebaya di masa depan,” kata Direktur Senior NHB Mr. Yeo Kirk Siang. “Kami percaya generasi muda adalah kelompok yang penting karena kami berharap mereka akan memahami bagaimana kebaya bisa menjadi sesuatu yang modis juga.”
Cerita di atas adalah cerita tetangga kita di Singapura. Bagaimana dengan Indonesia, dalam hal ini Kemendikbudristek yang mengurus bidang kebudayaan? Apa yang bisa dilakukan untuk lebih memasyarakatkan kebaya sambil menunggu proses evaluasi UNESCO hingga akhir tahun 2024? Bagaimana peran komunitas pecinta kebaya?
Ayo, kita coba berkolaborasi bikin kegiatan yang juga menggaungkan kebaya sebagai tradisi yang berharga untuk dijaga dan dilestarikan.
Sumber dan referensi: The Straits Times
Kebayas on display at the Love, Kebaya exhibition at the National Museum of Singapore. ST PHOTO: LIM YAOHUI
Ibu Oniatta Effendi, pegiat budaya dan pendiri “Baju by Oniatta”, di pameran Love, Kebaya. ST PHOTO: LIM YAOHUI
Pameran Love, Kebaya menampilkan enam desain kebaya unik dari pengrajin lokal serta foto-foto wanita yang mengenakan pakaian tersebut. ST PHOTO: LIM YAOHUI
Pameran Love, Kebaya akan berlangsung di National Museum of Singapore hingga 23 April, sebelum pindah ke Gardens by the Bay dari 26 April hingga 14 Mei dan Our Tampines Hub dari 16 Mei hingga 24 Mei. ST PHOTO: LIM YAOHUI