KUPAS TUNTAS PENCATATAN ELEM BUDAYA KE UNESCO
Semangat dan antusiasme mendaftarkan kebaya ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dunia dari Indonesia mendapat sambutan hangat di seluruh penjuru tanah air bahkan di luar negeri. Bisa dibilang sejak digulirkannya pendaftaran kebaya ke UNESCO nyaris semua orang membicarakan dan membahasnya baik di dunia nyata apalagi dunia maya. Berbagai kegiatan maupun parade dengan mengusung tagline Kebaya Goes to UNESCO ramai digelar berbagai kalangan, baik oleh komunitas-komunitas pecinta kebaya, komunitas budaya bahkan oleh mereka yang selama ini nyaris tidak pernah bersinggungan dengan kebaya.
Perbincangan semakin seru dan meluas bahkan cenderung panas, tatkala terlontar rencana pendaftaran kebaya dilakukan secara multi national nomination atau joint nomination bersama sama dengan Malasyia, Brunai, Singapura, Thailand yang ternyata sudah siap mendaftarkan kebaya ke UNESCO dan mereka juga sudah siap dengan berkas dokumen {dossier} yang akan diajukan. Ketiga negara ini juga mengajak Indonesia untuk ikut bergabung. Gelombang penolakan-pun meluas atas nama Nasionalisme, Nation Pride dan kebaya adalah asli milik Indonesia. Karena itu berbagai pihak meminta agar kebaya didaftarkan secara single nation nomination.
Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan pendaftaran ke UNESCO, prosedur dan tahapannya serta apakah berkaitan dengan nasionalisme dan kepemilikan? Untuk menjawab pertanyaan ini sekaligus memberi pemahaman, Direktur OIB Kemenlu mengadakan Fokus Grup Discusion “Kupas Tuntas Inskripsi Elemen Budaya Indonesia ke dalam Daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO” 4 November 2022 di Jakarta.
Pendaftaran Elemen Budaya ke UNESCO
Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Profesor Ismunandar melalui aplikasi zoom menjelaskan bahwa suatu elemen budaya yang telah diinskripsikan {dicatat} dalam daftar Representative List of Intangible Cultural Heritage {ICH} UNESCO, bertujuan melestarikan warisan budaya tak benda, memastikan masyarakat, kelompok dan individu yang bersangkutan menjunjung tinggi dan meningkatkan kesadaran di tingkat lokal, nasional dan internasional tentang pentingnya warisan budaya tersebut. saling menghargai sekaligus menjadi wahana kerjasama dan penggalangan bantuan internasional (bila diperlukan}.
“Pencatatan di UNESCO tidak ada kaitannya dengan klaim asal usul (origin) dari budaya karena itu bukan kriteria inkripsi, dan budaya bersifat “cair” jadi bisa saja satu budaya hidup juga di wilayah negara lain dan ini juga tidak ada hubungannya dengan hak paten,” ujar Ismundar. Misalnya kesenian kolintang juga ada di negara lain yang mirip dengan kolintang yang “hidup” di Sulawesi Utara (Menado) sehingga tidak bisa dikatakan eksklusif milik orang Menado
Suatu elemen budaya bisa dinominasikan ke UNESCO oleh satu negara secara single-nation nomination atau dapat juga diajukan nominasinya secara bersama-sama beberapa negara yakni secara multi-national nomination atau sering disebut sebagai joint nomination. Setiap negara berhak mendaftarkan elemen budaya yang ada di negaranya ke UNESCO dan tidak ada negara yang bisa melarang negara lain mendaftarkan elemen budayanya ke UNESCO.
Elemen budaya yang telah diinskripsikan dalam daftar Representative List of Intangible Cultural Heritage UNESCO hanyalah menyatakan bahwa budaya itu hidup (paling tidak sudah satu sampai dua generasi diturunkan di suatu masyarakat) dan masyarakat tersebut berkomitmen untuk merawat dan menjaga budaya tersebut. Terdaftar di Unesco merupakan kontribusi elemen budaya tersebut pada nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan nilai-nilai universal untuk kemanusiaan. Jadi terdaftar di UNESCO tidak ada kaitannya dengan asal-usul (“origin” atau asli/tidak asli) suatu budaya karena bisa saja suatu budaya hidup juga di negara lain.
Interaksi Dinamis Yang Menyatu
Guru Besar Sejarah UGM, Prof Bambang Purwanto memaparkan bahwa mobilitas antar wilayah di Asia Tenggara memiliki sejarah yang panjang baik sebelum penetrasi Barat maupun sepanjang masa kolonial. Dalam perpindahan manusia ikut bersamanya berbagai nilai, yang ketika berada di wilayah seberang menciptakan sesuatu yang baru tanpa kehilangan unsur-unsur dasar pembentuknya.
Di Asia Tenggara interaksi terjadi dua arah, dari kepulauan ke kontinen dan sebaliknya. Mereka berbeda dari tradisi nomaden, dalam konteks peradaban pesisir dan terjadi interaksi yang dinamis menyatu secara emosional dan kultural
Mengutip Adrian Vickers sejarawan Australia, peradaban pesisir di Asia Tenggara, merupakah hasil kerja para perantau yang berprofesi sebagai pedagang, petani, nelayan, atau tentara. Mereka ini juga sekaligus menjadi pelaku budaya di rantau yang baru. Eksistensi Asia Tenggara secara historis tidak dapat hanya dijelaskan sebagai proses Indianisasi, Cinanisasi, Arabisasi, atau proses ekonomi semata, melainkan telah berlangsung sejarah kebudayaan Asia Tenggara bersama sebagai proses inter-relasi. Demikian pula dengan Melayu
Dalam sejarah kebudayaan itu, keberadaan sub-kultur Melayu, sub-kultur Jawi, dan sub-kultur Peranakan merupakan contoh adanya integrasi kultural antar wilayah di Asia Tenggara. Jawi yang terkesan sama dengan Jawa ternyata secara historis tidak bisa hanya dikaitkan dengan Jawa atau Indonesia. Demikian pula dengan Melayu dalam cara berpikir eksklusif biasanya hanya dikaitkan dengan Malaysia, Indonesia, Sumatera, Islam. Secara historis, Melayu merupakan produk interrelasi dari berbagai elemen yang mencakup hampir sebagain besar kawasan Asia Tenggara. Sedang Peranakan merupakan salah satu sub-kultur Asia Tenggara yang sangat kaya sebagai proses hibridisasi yang telah berjalan ratusan tahun.
Jadi budaya tak benda, lebih merupakan representasi dari dinamika masyarakat baik dalam satu ikatan negara bangsa maupun kawasan, yang tidak hanya melintas waktu melainkan juga tempat dan representasi sosio-kulturalnya sehingga mudah menjadi milik bersama.
“Sehingga tidak ada yang boleh memungkiri bahwa perempuan Indonesia, Jawa, Sunda, atau Melayu juga memiliki kebaya sendiri-sendiri sebagai identitas dan jati diri yang sangat dibanggakan, namun pada saat yang sama tidak ada yang berhak mencabut kebaya dari identitas para perempuan peranakan yang ada di seluruh Asia Tenggara dan bahkan di seluruh dunia, jelas Profesor Bambang panjang lebar.
ICH BUKAN HAK PATEN
Pencatatan suatu elemen budaya di Unesco seperti yang disampaikan Ismunandar, tidak ada kaitannya dengan hak paten. Justru dengan dicatatnya suatu elemen budaya seperti batik, gamelan, tari saman, angklung di UNESCO, “melepas” hak itu menjadi milik dunia dan diakui oleh dunia untuk dirawat dan dijaga bersama terus berkelanjutan dan lestari karena budaya tersebut memiliki nilai-nilai universal kemanusiaan yang dijunjung tinggi.
Elemen Budaya Indonesia yang sudah tercatat di UNESCO ada 12, yakni Kesenian Wayang, Keris, Batik, Tari Saman, Tiga Genre Tari Bali, Angklung, Tradisi Pencak Silat, Noken Papua, Teknologi Pembuatan Kapal Phinisi, Pantun dan Gamelan.
Yang sedang antri saat ini untuk dinominasikan ke Unesco adalah Budaya Jamu Sehat, Tempe, Tenun, dan Reog Ponorogo yang sedang proses untuk ikut berbaris dalam antrian ke UNESCO. Pendaftaran ke UNESCO secara single nomination dibatasi setiap dua tahun sekali. Ini artinya jika kebaya tetap didaftarkan secara single nation ke UNESCO baru bisa dilakukan pada Maret 2024. Sementara Jamu, Reog Ponorogo, Tempe dan Tenun sudah masuk daftar antrian.
Setelah suatu elemen budaya dicatat masuk dalam daftar WBTB Unesco, maka akan bergulir dampak ekonomi yang mengalir tidak hanya ke satu individu pemilik hak, seperti hak cipta lagu, misalnya, tetapi terbuka untuk seluruh masyarakat seperti batik boleh diproduksi oleh siapa saja tanpa harus membayar fee.
Doktor Miranda Risang Ayu Palar, Ketua Pusat Studi Regulasi dan Aplikasi Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran mengungkapkan, bila ingin mendapatkan perlindungan hak Cipta atau hak paten itu mendaftarkan di registrasi Kemenhukam dan selanjutnya ke World Intelectual Property Organization {WIPO}—-salah satu badan khusus PBB untuk mendorong kreativitas dan memperkenalkan perlindungan kekayaan intelektual.
Bila sudah terdaftar hak cipta, gamelan misalnya di WIPO, maka siapapun yang mau belajar gamelan maupun pentas menggunakan gamelan, harus minta ijin dan bayar fee hak cipta. Demikian pula bila tari legong Bali sudah terdaftar di WIPO, maka yang belajar dan mementaskan tarian tersebut harus membayar fee, maka dari sini keuntungan ekonomi yang besar mengalir. “Jika sudah terdaftar di WIPO hak ekslusif dan hak ekonomi terlindungi” jelas Miranda.