MERAWAT BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH
Penulis : Arief Sempurno dan Indiah Marsaban (Sanggar Jawa Jawi Java-Jakarta)
“Menggaungkan Kembali Yang Hampir Punah” merupakan tema acara yang diselenggarakan pada tanggal 4 Maret 2023 bertempat di Tamanan Keraton – Pendopo Ndalem Yudoningatan, Yogyakarta. Acara ini digagas oleh Indonesia Gaya, suatu komunitas yang didirikan oleh Gayatri Wibisono, pegiat pelestarian budaya dan lingkungan hidup serta pemberdayaan kerajinan Indonesia.
Acara di Yogya ini adalah bagian dari rangkaian acara Tour Budaya yang diadakan oleh Indonesia Gaya dengan agenda utama berupa gelar wicara (talk show) yang mengusung dua topik utama yakni tentang budaya Prajurit Keraton Yogyakarta dan Pembuatan Wayang Kulit. Peserta diskusi terdiri dari mahasiswa jurusan seni, budayawan, wartawan/media, berjumlah sekitar 80-100 undangan.
Prajurit Keraton Yogyakarta
Untuk topik Prajurit Keraton Yogya: Bagaimana Melanjutkan Pelestarian dan Pengembangannya menampilkan narasumber Drs. GBPH H. Yudaningrat, MM -biasa disapa dengan Kanjeng Gusti– yang merupakan adik Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Puro Budaya sekaligus Manggalayudha (Panglima) Prajurit Keraton Yogya. Sedangkan GBPH adalah singkatan dari gelar Gusti Bendoro Pangeran Haryo.
Selain Kanjeng Gusti Yudaningrat, budayawan KRT H. Jatiningrat SH (Romo Jati), juga memberikan pemaparan mengenai sejarah keprajuritan keraton sejak zaman kerajaan Mataram hingga kini. Dalam pemaparannya, Romo Jati menjelaskan bahwa biasanya yang menjadi prajurit keraton adalah keturunan dari prajurit keraton dari generasi sebelumnya sehingga turun-temurun menjadi kebanggaan bagi keluarganya. Yang unik, para prajurit juga diwajibkan belajar menari dan musik (gamelan), dengan tujuan menyeimbangkan kepribadian mereka.
Bagaimana mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Prajurit Kraton (sesuai judul acara) memang perlu upaya dari berbagai pemangku kepentingan seperti pihak pemerintah dan dari unsur masyarakat seperti komunitas Indonesia Gaya yang mendukung upaya pelestarian budaya agar berkelanjutan.
Pakaian prajurit keraton terdiri dari berbagai macam jenis yang digunakan untuk acara yang berbeda sebagaimana dijelaskan oleh pengrajin pakaian seragam prajurit, Ibu Titiek, yang hingga kini masih menerima pesanan dari berbagai pihak untuk membuat pakaian prajurit dan perlengkapannya. Dari video yang diperlihatkan, pakaian prajurit keraton sangat indah dengan perpaduan warna merah, biru, dan hitam dengan berbagai bahan dan aneka topi yang bentuknya juga unik. Sayangnya, aneka pakaian prajurit keraton tersebut tidak diperagakan secara langsung dan hanya disajikan melalui slide show. Tentu akan lebih menarik lagi apabila pakaian prajurit itu diperagakan oleh prajurit yang sesungguhnya sehingga kita bisa melihat secara detail seragam yang digunakan oleh para prajurit keraton Yogya, mulai dari topi, tombak, sepatu, kaos kaki dan ornamen lainnya.
Pembuatan Wayang Kulit
Topik mengenai Wayang: Dibalik Pembuatan Wayang dan Aturannya disampaikan oleh Drs Subandi Giyanto, seorang maestro pembuat wayang kulit. Pada bincang-bincang ini, sang penyaji banyak menyampaikan keprihatinannya atas kondisi saat ini di mana hanya 31 orang tercatat sebagai pembuat Wayang Yogya. Selain jumlah pembuat wayang semakin susut, kualitas wayang yang dihasilkan juga semakin turun karena banyak yang tidak mengikuti ‘pakem” padahal kurikulum mata pelajaran/kuliah tentang Wayang sudah disusun standarnya.
Pak Subandi sudah berupaya untuk meminta perhatian Pemerintah Daerah (Dinas Kebudayaan) supaya dapat memberikan beasiswa kepada pelajar/mahasiswa yang berpotensi menjadi pelestari Wayang. Dengan demikian pak Subandi sebagai maestro wayang dapat mewariskan ilmunya kepada generasi penerus sedangkan pembuat wayang kulit yang paling muda saat ini saja sudah berusia 58 tahun.
Menurut pak Subandi, pihak Pemda memberi jawaban bahwa anggaran untuk upaya perlindungan suatu budaya seperti pemberian beasiswa harus diajukan ke DPRD tetapi upaya tersebut ‘mandeg’ karena terbentur unsur politik, padahal budaya sesungguhnya itu netral dan tidak mengenal politik. Mendengar penjelasan pak Subandi tersebut, hadirin yang mengikuti talk show ini terdengar ramai tertawa tetapi tertawa yang “tidak lucu”. Kesimpulan umum dari bincang-bincang budaya ini bahwa memang perlu ada upaya untuk menggaungkan kembali budaya yang saat ini memprihatinkan. Padahal wayang kulit sudah dicatat oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dari domain: performing arts (seni pertunjukan) dan traditional craftmanship (ketrampilan pembuatan wayang secara tradisional). Memang tradisi wayang ‘terancam punah’ sebagai akibat dari perubahan sosiokultural masyarakat yang demikian cepat.
Pada acara bincang-bincang budaya tersebut, Sanggar Jawa Jawi Java diberi kesempatan menyuguhkan gending gamelan di sela-sela acara diskusi. Di awal acara, sebagai pembuka, diperdengarkan gending Santi Mulyo, Mijil Wigaringtyas dan Gulo Klopo karya Ki Narto Sabdo, pencipta gending-gending legendaris yang memiliki nilai filosofi tinggi mengenai perjuangan dan cinta tanah air Indonesia. Di akhir acara, sebagai penutup, Sanggar JJJ kembali menyajikan permainan gamelan dengan lagu Jamu Jawa dan lagu Praon dengan formasi di mana mbak Gayatri ikut sebagai penabuh saron.
Acara yang sarat makna budaya ini seharusnya lebih banyak lagi diadakan dan kita dukung untuk merawat dan melindungi kekayaan budaya Indonesia. Kami sangat berterima kasih kepada mbak Gayatri Wibisiono sebagai founder dari Indonesia Gaya yang luar biasa merintis upaya menjaga budaya Indonesia agar tetap lestari dan dapat diwariskan kepada generasi masa depan.