PERLAWANAN LEWAT BAHASA: MERAWAT DAN MENJAGA PERSATUAN DAN BUDAYA MELALUI BAHASA INDONESIA

Penulis : Indiah Marsaban

Pasca-Sumpah Pemuda, para pemuda berusaha menggunakan bahasa Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Bagaimana pemuda masa kini merawat dan menjaga budaya dan bahasa Indonesia?

Bulan Oktober sudah lewat dan tahun ini sepi-sepi saja tak terdengar ada kegiatan lomba-lomba yang mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia “dengan baik dan benar”, padahal biasanya bulan Oktober dirayakan sebagai “bulan bahasa” karena ada Hari Sumpah Pemuda yang selalu menjadi pengingat bahwa kita bersumpah untuk berbahasa yang satu, bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia yang baik belum tentu bahasa Indonesia yang baku.  Bahasa Indonesia yang baku adalah yang diakui dalam KBBI. Misalnya kata “mempengaruhi” itu bukan bentuk baku di KBBI. Bentuk yang baku adalah “memengaruhi” karena huruf “p” luluh dengan adanya awalan “me”. Tetapi banyak masyarakat masih menulis dengan versi “mempengaruhi” yang sebetulnya tidak baku menurut KBBI.

Demikian juga sering kita jumpai kata “merubah” yang bukan bentuk baku karena kata dasarnya adalah “ubah” sehingga jika ditambah awalan “me” menjadi “mengubah” sebagai bentuk baku dan bukan “merubah” (bentuk yang tidak baku).

Arti “rubah” sendiri adalah sejenis hewan anjing hutan atau ‘fox’ dalam bahasa Inggris.  Mungkin kata “ubah” tertukar dengan kata “rombak” yang bila ditambah awalan “me” menjadi “merombak” dan kata “merombak” memang bentuk yang baku sesuai KBBI,

KBBI menggunakan istilah “tidak baku” dan bukan dengan sebutan “salah atau benar” suatu kata. Mungkin karena bahasa itu merupakan “kesepakatan” dari para pengguna dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai “otoritas” penyusun KBBI. Jadi bisa saja, KBBI akan mengadopsi suatu kata yang saat ini belum dianggap bahasa yang baku, menjadi bahasa yang berterima di kemudian hari. Bahasa itu dinamis berkembang sesuai kebutuhan masyarakat yang “menghidupi” bahasa itu.

Selain fenomena mengenai kata-kata yang tidak baku ada penggunaan ungkapan yang menjadi pertanyaan bagi saya.

Contohnya, pengucapan “Salam Sejahtera untuk kita semua”.

Saya terusik dengan 3 kata terakhir:…. “untuk kita semua

“Salam” dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan sebagai “Regards” atau “Greetings”.

Jika demikian, maka “salam” atau “greetings” disampaikan kepada orang lain (“pihak kedua”) sedangkan jika disampaikan untuk “kita semua” berarti termasuk diri sendiri.

Apakah lazim kita memberi salam kepada “diri kita sendiri”.

Menurut saya, ungkapan yang betul adalah: “Salam sejahtera untuk ibu-bapak sekalian” dan bukan “untuk kita semua”.  Kata “kita” berarti termasuk yang mengucapkan salam padahal tidak lazim memberi salam untuk diri sendiri.

Sehingga sebagai koreksi, saya menyarankan dalam menyampaikan salam tersebut cukup dengan “Salam Sejahtera” titik. Atau jika ingin dilengkapi, boleh dengan “Salam Sejahtera untuk ibu-bapak hadirin sekalian”.

Isu  “gender” dalam bahasa juga muncul pada budaya yang berbeda.  Dalam bahasa Inggris ketika menyapa “audience” yang disebut lebih dulu selalu “Ladies” menjadi “Ladies and Gentlemen” sedangkan dalam bahasa Indonesia yang lazim disebut lebih dulu adalah “Bapak-Ibu yang terhormat” bukan “Ibu-Bapak yang terhormat”.  Terlihat budaya patriarki, “Bapak” disebut lebih dulu.

Sebetulnya banyak “anomali” (jika boleh saya sebut sebagai anomali) yang terjadi dalam berbahasa Indonesia sehari-hari tanpa kita sadari bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan adalah bahasa yang “tidak baku”. Seandainya dibuat daftar kesalahan umum pasti lumayan panjang daftarnya. Namun bahasa memang dinamis sesuai kebutuhan masyarakatnya. Semoga saja dengan kita banyak membaca sumber referensi yang bisa menjadi acuan baku, kita dapat sedikit demi sedikit memperbaiki proses berbahasa kita menuju bahasa yang baik dan benar.

Sesungguhnya judul artikel ini terinspirasi dari judul artikel yang dimuat di laman historia.id https://historia.id/amp/politik/articles/perlawanan-lewat-bahasa-Dwgmg yang ditulis oleh Nur Janti mengenai perjuangan pemuda-pemudi tahun 1930-an dalam menggunakan bahasa Indonesia. Cukup menarik perjuangan pemuda pada zamannya dan kebetulan dalam artikel itu di antara “pemudi” yang disebut terdapat nama “tokoh pendidikan perempuan” Kayatoen Wasito yang merupakan kakak dari ibu saya. (Budé saya lahir tahun 1911). 

Silakan membaca artikel singkat ini untuk menelusuri sekelumit sejarah bagaimana perjuangan para pemudi pada zaman itu berusaha untuk belajar bahasa Indonesia.

Maria Ulfah (kanan duduk) dan Kayatoen Wasito (berdiri kanan)

SEKEMBALINYA dari Belanda tahun 1931, Maria Ullfah bertekad mematuhi Sumpah Pemuda dengan cara menggunakan bahasa Indonesia. Untuk itu, bersama Soegiarti (kemudian jadi istri Sutan Takdir Alisyahbana) sahabat karibnya Maria mencari seseorang yang bisa mengajari bahasa Indonesia. Upaya itu berhasil. Pujangga Amir Hamzah bersedia menjadi guru les mereka.

Namun, Amir rupanya tak cocok menjadi guru Maria Ullfah dan Soegiarti. Kosakata yang diajarkan Amir terlalu mendayu-dayu dan sangat sastrawi, sementara kebutuhan Maria dan Soegiarti bukan itu.

Maria lalu berterus terang pada Amir. “Maaf, Saudara Amir Hamzah. Bahasa Indonesia yang Saudara ajarkan pada kami adalah bahasa pujangga. Kami memerlukan bahasa Indonesia yang biasa untuk berpidato dan bercakap-cakap, bukan untuk menjadi sastrawan,” kata Maria seperti ditulis Gadis Rasyid dalam biografi Maria Ullfah Subadio Pembela Kaumnya.

Sejak itu, Amir tak lagi mengajar mereka. Sebagai gantinya, mereka meminta rekan dari Sekolah Muhammadiyah bernama Sutopo untuk mengajari bahasa Indonesia.

Kesulitan menggunakan bahasa Indonesia tidak hanya dialami Maria Ullfah dan Soegiarti. Tokoh pendidik perempuan Kajatoen Wasito pun merasakannya. “Bahasa Indonesia belum banyak aku kuasai secara mendalam, terlebih dalam hal pidato,” kata Kayatoen, yang ikut Jong Java –yang kemudian melebur jadi Indonesia Muda (IM)– kala usianya masih 20-an. Dalam pertemuan-pertemuan IM, dia selalu kagum pada rekan-rekannya yang pandai berpidato dalam bahasa Indonesia.

“Waktu itu mayoritas orang pakai bahasa daerah atau bahasa Belanda. Bahasa Indonesia menjadi hal yang tidak mudah pada waktu itu. Tapi melihat usaha para pemuda juga perempuan untuk menggunakannya, betapa keinginan untuk bersatu sangat kuat dan alatnya adalah bahasa Indonesia,” kata Yerry Wirawan, sejarawan Universitas Sanata Dharma, pada Historia.

Kongres Perempuan Indonesia sebagai federasi organisasi perempuan pun turut memenuhi Sumpah Pemuda dengan mewajibkan jurnal terbitannya bernama, Isteri,menggunakan bahasa Indonesia. Aturan itu merupakan keputusan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPII) di Surabaya pada 1930.

Usaha menggunakan bahasa Indonesia terus dilakukan, bahkan dalam rapat organisasi perempuan. Dalam kumpulan memoar perempuan di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi, Kayatin Sahirntihardjo mengisahkan bagaimana dia dan rekan-rekan Pengurus Besar Keputrian Indonesia Muda berusaha keras berbahasa Indonesia.

“Nona Burdah yang Sunda, Nona Moni Tumbel dari Minahasa, dan Rusmali yang Minang kesulitan berbahasa Indonesia. Bila kami tidak bisa menyelesaikan kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik, diwajibkan membayar denda satu kwartje atau dua puluh lima sen,” ujar Kayatin. Tak ayal, rapat menjadi penuh tawa ketika ada yang kena denda. Uang denda itu dimasukkan ke dalam kas pengurus.

Anekdot dari masa perjuangan menggunakan bahasa Indonesia juga dialami Theo Pangemanan, kakak ipar tokoh perempuan Partindo Dina Pantow. Theo kala itu aktif di kepanduan Indonesie Padvinders Organisatie (INPO). Ketika INPO merayakan tercetusnya Sumpah Pemuda, Theo berpidato penuh semangat menggunakan bahasa Indonesia yang belum dia kuasai benar. Sampai di rumah, dia malah ditertawakan oleh saudara-saudaranya, termasuk Dina. Tapi setelah itu, Leen Pantow, istri Theo, harus bersedih karena mendapat ancaman dikeluarkan dari pekerjaannya di Laboratorium dr. Peverelli jika suaminya tak keluar dari INPO.

Dari kesaksian Dina, para mahasiswa Indonesia juga diancam dikeluarkan dari perguruan tinggi bila ketahuan ikut Kongres Pemuda. Para pemuda disuruh memilih, tetap teguh pada perjuangan kemerdekaan tapi dikeluarkan dari sekolah atau tetap bersekolah tapi meninggalkan perjuangan.

Menurut Yerry, usaha-usaha para pemuda di tahun 1930-an bahkan sampai 1950-an untuk menggunakan bahasa Indonesia menjadi satu hal yang amat politis di tengah penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa yang dominan. “Bahasa menjadi simbol nasionalisme dan perlawanan pada penjajah. Penggunaannya pada dekade 1930-an amat politis sebagai wujud nasionalisme. Ia dijadikan alat pemersatu yang memungkinkan orang berkomunikasi dengan suku yang berbeda,” kata Yerry.

Bagaimana menurut Anda artikel ini?
+1
0
+1
0
+1
2
+1
1
KABAR BUDAYA