MENGINTIP WORKSHOP 5 NEGARA MENYUSUN DOSSIER KEBAYA KE UNESCO
Penulis : Indiah Marsaban, Tim Nasional Kebaya Indonesia, Pegiat Kebaya
MULTI-NATION NOMINATION
Setelah melalui proses yang cukup “seru”, akhirnya Indonesia ikut bergabung dengan negara serumpun di Asia Tenggara, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapore dan Thailand dalam menominasikan kebaya sebagai warisan budaya tak-benda (intangible cultural heritage/ICH) ke UNESCO Sungguh lega bagi saya, ketika kesepakatan telah tercapai untuk Indonesia mengajukan kebaya ke UNESCO bersama-sama dengan 4 negara tetangga.
Keputusan untuk joint nomination ini menurut saya, adalah paling strategis dan realistis. Mengapa saya bilang strategis? Karena Indonesia tahun 2023 ini mendapat giliran menjadi Ketua ASEAN yang merupakan momentum yang tepat untuk kerjasama dalam diplomasi kebudayaan. Mengapa strategi ini saya katakan realistis? Karena jika ingin maju secara nominasi tunggal (single-nation nomination), kebaya harus antri di belakang “Budaya Sehat Jamu”, “Pertunjukan Seni Reog Ponorogo”, “Budaya Tempe” dan “Tradisi Tenun”. Empat elemen budaya ini telah lebih dulu siap diajukan dan jika mengikuti antrian ini, giliran kebaya baru bisa diajukan tahun 2031. Maka lebih realistis jika kita ikut “gerbong” multi-nation nomination bersama Brunei Darussalam, Malaysia, Singapore dan Thailand.
WORKSHOP DI JAKARTA
Empat negara sahabat ini tentu juga menyambut gembira keputusan Indonesia bergabung dengan mereka dan untuk itu Indonesia (dalam hal ini Kemendikbudristek) mengundang wakil-wakil dari Brunei Darussalam, Malaysia, Singapore dan Thailand ke Jakarta untuk mengikuti Workshop pada tanggal 7 dan 8 Februari 2023 di Jakarta.
Agenda utama Workshop ini adalah secara bersama-sama menyusun dossier pengusulan kebaya sebagai ICH UNESCO. Masing-masing negara mempresentasikan General Statement mengenai kebayanya terutama terkait “safeguarding measures” atau upaya perlindungan terhadap budaya berkebaya agar “sustainable” atau berkelanjutan. Delegasi Malaysia, Singapore dan Thailand hadir dengan masing-masing membawa 5 anggotanya sedangkan Brunei Darussalam mengikuti workshop secara daring (via on-line). Walapun penuh tantangan untuk proses inskripsi (pencatatan) ke UNESCO, namun saya tetap optimistis bahwa kita bisa memenuhi tenggat waktu pertengahan Maret, dossier dikumpulkan dari lima negara untuk diserahkan paling lambat tanggal 31 Maret 2023 ke UNESCO.
Tim Indonesia diwakili oleh Kemendikbudristek cq. Direktorat Pelindungan Budaya, Ibu Maya Khrisna dibantu oleh staff Kemenlu (Direktorat Sosbud & OINB) Ibu Linda, serta tim dari Wakil Tetap Indonesia untuk UNESCO, Prof Ismunandar yang khusus datang dari Paris. Selain itu, Ibu Itje Chodidjah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) juga hadir beserta wakil dari Komunitas Kebaya Labuh Riau, Komunitas Kebaya Labuh Kepulauan Riau dan Komunitas Kebaya Kerancang, sedangkan wakil dari Tim Nasional Kebaya Indonesia adalah Ibu Lana T. Koentjoro, Ibu Miranti Serad dan saya.
Setelah presentasi General Statement mengenai Kebaya dari masing-masing negara, kemudian Mr. Yeo Kirk Siang dari National Heritage Board (Dewan Warisan Budaya), Singapore yang berperan sebagai coordinator, menjelaskan agenda selanjutnya yaitu membahas:
- Proposed Title of the Nomination File (Judul Nominasi)
- Recap of Evaluation Criteria (Kriteria Evaluasi nomor R1 hingga R5)
- Details of each criterion + relevant observations from the Evaluation Body Report (Pembahasan tiap kriteria & hasil pembelajaran dari Laporan Dewan Evaluasi)
JUDUL DOSSIER NOMINASI
Judul dossier yang diusulkan ke UNESCO adalah:
KEBAYA: KNOWLEDGE, SKILLS, TRADITION AND PRACTICE
Alasan diusulkannya judul ini, karena judul ini bisa memberikan gambaran yang deskriptif mengenai berbagai aspek warisan budaya tak benda yang diusulkan dan akan lebih mudah bagi Dewan Evaluasi UNESCO melakukan penilaian terhadap elemen budaya yang dinominasikan.
Kebaya diajukan bukan sebagai benda (atau artefact) tetapi sebagai elemen budaya yang memiliki nilai-nilai terkait pengetahuan, ketrampilan, tradisi dan praktik penggunaan kebaya. Oleh karena itu, kebaya dinominasikan sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) atau Warisan Budaya Tak Benda (WBTb).
KRITERIA
Terdapat 5 kriteria (requirements R1-R5) yang akan dinilai oleh UNESCO yakni:
R1: Bahwa elemen budaya yang diajukan adalah WBTb sesuai definisi dalam Convention 2003
R2: Bahwa inskripsi elemen terkait di UNESCO dapat berkontribusi pada Visibility, Awareness, Dialogue & Sustainable Development
R3: Apa saja upaya “safeguarding” yang telah dilaksanakan di masa lalu, dan yang saat ini maupun rencana yang akan datang, baik oleh pemerintah maupun oleh komunitas?
R4: Bahwa perlu dibuktikan terdapat keterlibatan masyarakat seluas mungkin
R5: Bahwa elemen budaya yang diajukan telah masuk dalam daftar WBTb nasional di negara terkait.
UNESCO menerapkan prinsip: Free, Prior and Informed Consent (persetujuan di awal tanpa paksaan). Maka dalam hal menunjukkan dukungan komunitas, tidak dianjurkan menggunakan format surat yang seragam/standar untuk suatu deklarasi dukungan komunitas. Letter of Consent sebagai bukti dukungan komunitas perlu disusun secara hati-hati dengan narasi yang tepat. Surat dukungan komunitas harus merupakan inisiatif dari komunitas ybs secara partisipasi sukarela dan dalam surat dukungan itu menyatakan bahwa komunitas mendukung pengajuan secara joint nomination. Surat pernyataan dukungan (Letter of Consent) yang ditulis tangan sekalipun bisa diterima oleh UNESCO karena otentik dari komunitas, asalkan ada terjemahannya dalam bahasa Inggris. Keterlibatan komunitas juga penting dalam proses menentukan upaya “safeguarding” agar memastikan yang menerima manfaat dari upaya perlindungan ini adalah komunitas dan bukan pihak negara atau pihak swasta.
Mr. Kirk dalam pemaparannya, menjelaskan beberapa contoh pernyataan yang perlu dihindari dalam mengisi dossier antara lain:
- Menyatakan bahwa elemen yang diajukan akan meningkatkan pariwisata. X
- Terlalu menekankan unsur komersial dari suatu elemen budaya yang diajukan. X
- Menggunakan kata “unique”, “authentic”, “origin” X
Contoh-contoh pernyataan seperti tersebut di atas tidak dianjurkan (discouraged) digunakan dalam dossier. Saya jadi teringat kutipan pernyataan dari Prof. Johanes Widodo, pakar warisan budaya bahwa: “Cultural heritage listing is not about copy right, economic gain, nor chauvinism[1] but about solidarity, education and peace.”
Sebagaimana saya tulis berulang kali dalam artikel saya yang lain, bahwa pencatatan di UNESCO bukanlah mengenai hak paten, atau manfaat ekonomi dari suatu elemen budaya dan bukan terkait kebanggaan terhadap tanah air yang berlebihan, tetapi pencatatan di UNESCO justru mengusung rasa solidaritas dan mengutamakan aspek pendidikan sebagai kontribusi bagi perdamaian dunia. Dengan demikian, saat ini perdebatan mengenai klaim atau caplok-mencaplok suatu budaya seharusnya sudah selesai dan tidak ada lagi salah persepsi di masyarakat.
VISUALISASI KEBAYA
Dalam workshop ini dibahas pula bahwa setiap negara peserta joint nomination diminta menyerahkan foto-foto tentang kebaya yang menunjukkan kegiatan antara lain:
- dances being performed wearing the kebaya,
- designing or making the kebaya (ketrampilan/skills) ,
- involving young people or any other form of safeguarding the kebaya
Menunjukkan keterlibatan anak muda pada kegiatan pelestarian kebaya menjadi penting di dalam berkas dossier, karena ini memperlihatkan proses “pewarisan kebaya kepada generasi penerus ” dan terdapat transmission of skills dalam konteks pelestarian ketrampilan membuat kebaya.
Contoh transmission of skills to younger generation as safeguard measures, yang bisa diajukan salah satunya adalah adanya kurikulum sekolah yang mengajarkan pembuatan kebaya dan Teknik bordir di sekolah-sekolah seperti di sekolah La Salle, Esmod dan SMK jurusan Tata Busana.
Salam kebaya!
[1] Menurut KBBI, chauvinisme adalah sikap atau cinta kepada tanah air yang sangat berlebihan.