MENGAPA WARISAN BUDAYA TAK BENDA DICATATKAN KE UNESCO?
Penulis Rini Kusumawati, Pegiat Budaya
Indonesia lewat beberapa komunitas pencinta kebaya sedang ingin mencatatkan tradisi berkebaya kita sebagai warisan budaya tak benda UNESCO. Tentang warisan budaya tak benda dan proses panjang pencatatannya, silakan membaca ulasan yang ditulis oleh Indiah Marsaban (https://kebayaindonesia.org/kabarbudaya/kebaya-wbtb-dan-unesco/). Sekarang, kita perlu bertanya tentang mengapa warisan budaya tak benda? Apa yang istimewa dari pencatatan elemen budaya sebagai warisan budaya tak benda Unesco?
Di laman Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO tertulis seperti ini: “While fragile, intangible cultural heritage is an important factor in maintaining cultural diversity in the face of growing globalization” (https://ich.unesco.org/en/what-is-intangible-heritage-00003).
Kira-kira terjemahannya lepasnya seperti ini “meskipun rentan, warisan budaya tak benda merupakan faktor penting yang bisa menjaga keanekaragaman budaya dalam menghadapi globalisasi yang semakin berkembang”.
Warisan budaya tak benda itu bersifat rentan. Rentan terhadap apa? Kalau menurut saya rentan terhadap perubahan dan globalisasi. Karena tidak berwujud, pastinya satu elemen budaya satu komunitas tertentu akan gampang tercampur dengan budaya dari elemen budaya komunitas lainnya.
Misalnya, nih kita ambil contoh kebaya dan tradisi berkebaya. Tradisi berkebaya yang berkembang di wilayah Nusantara, menurut saya, merupakan salah satu hasil dari proses globalisasi di masa lalu. Asal-usul bentuk kebaya yang kita kenal saat ini merupakan campuran dari berbagai budaya yang masuk ke Nusantara. Kalau kita bicara tradisi berkebaya, ini lebih rumit lagi. Ada beberapa sumber yang menyebut bahwa tradisi berkebaya sudah ada sejak jaman Majapahit (sekitar abad ke-15 dan ke-16). Karena masuknya Islam, para perempuan yang tinggal di istana menutup bagian atas tubuhnya yang semula hanya tertutup kemben. Kemudian ada sumber lain yang menyebutkan bahwa tradisi berkebaya dikenalkan oleh pendatang Portugis yang sampai ke wilayah Nusantara pada abad ke-16. Kata kebaya-pun salah satunya serapan dari bahasa Portugis Cabaya
Kalau kita bicara persebarannya, dari Majapahit (Jawa), kebaya tersebar di wilayah Semenanjung Malaka atau Semenanjung Melayu. Ada beberapa negara di wilayah tersebut, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Lalu ada Myanmar dan Thailand. Kebaya bisa sampai ke wilayah tersebut melalui jalur perdagangan dan pertukaran budaya. Ketika masuk ke wilayah-wilayah tersebut, sudah pasti kebaya mengalami perubahan bentuk dan tampilan. Di wilayah Nusantara sendiri, kebaya berevolusi menjadi berbagai model karena beradaptasi dan berakulturasi dengan budaya lokal serta perkembangan jaman. Kebaya sebagai sebuah produk budaya yang tidak terlepas dari hasil olah pikir manusia. mau tidak mau akan selalu mengalami perubahan.
Loh… jadi tidak apa-apa kalau bentuk kebaya berubah? Ya tidak apa-apa, dong. Karena yang dicatat oleh UNESCO melalu ICH bukan bentuk fisik dari kebaya tersebut. Namun lebih kepada tradisi berkebaya, nilai-nilai simbolis, pengetahuan dan ketrampilan yang berada di seputar kebaya yang bisa diwariskan kepada generasi berikut, dan berikutnya, dan berikutnya lagi, demikian seterusnya.
Ini salah satu cara dalam menjaga warisan budaya tak benda. Benda fisiknya bisa saja berubah karena menyesuaikan perkembangan jaman dan beradaptasi dengan budaya lokal. Tapi, tradisinya, kan masih dipakai dan dipelihara. Pengetahuan tentang nilai-nilai simbolis kebaya, misalnya kebaya sebagai simbol kesetaraan karena bisa dipakai oleh siapa saja dalam berbagai kesempatan, bisa dihidupkan kembali, dikenali lagi, terjaga dan bisa dipelajari lagi oleh anak-cucu kita nantinya (dan bahkan oleh warga dunia). Serta jangan lupakan ketrampilan lainnya yang berada dan hidup di seputar kebaya, seperti membuat pola kebaya, menjahit kebaya, bordir, bahkan ketrampilan memproduksi wastra nusantara yang sering dipakai sebagai pasangan kebaya akan bisa bertahan dan terpelihara.
Jadi, mengapa menjaga keanekaragaman budaya itu penting untuk menghadapi arus globalisasi? Pertama, kita perlu tahu apa globalisasi itu. Menurut Selo Sumardjan “globalisasi adalah terbentuknya sebuah komunikasi dan organisasi di antara masyarakat satu dengan lainnya yang berbeda di seluruh dunia yang memiliki tujuan untuk mengikuti kaidah-kaidah baru yang sama”.
( https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-globalisasi/).
Menurut saya, kata kunci globalisasi itu terletak pada “mengikuti kaidah-kaidah baru yang sama”. Globalisasi mengaburkan batas-batas sosial budaya antar bangsa. Kita bisa melihat dan mengadopsi trend budaya bangsa lain dengan mudah, misalnya, mode pakaian, makanan, bahkan gaya hidup. Sesuatu yang dianggap trend akan dengan mudah menarik minat masyarakat yang lain untuk meniru dan mencontohnya. Ini yang dianggap sebagai ancaman terhadap keanekaragaman budaya. Salah satu alat yang membantu percepatan globalisasi adalah internet yang melahirkan beragam media sosial. Hubungannya apa antara globalisasi, media sosial dan ancaman terhadap keanekaragaman budaya?
Begini, kita ambil contoh kebaya lagi. Saat ini banyak produk-produk fashion “trendi” dan “modern” yang dipromosikan lewat sosial media, youtube misalnya, oleh para influencer yang memiliki jutaan pengikut. Dari jutaan pengikut itu, pasti ada beberapa ratus yang kepincut untuk membeli produk-produk fashion modern. Bagi mereka, “kaidah baru yang sama” tersebut adalah menjadi trendi seperti idola yang mereka ikuti di media sosial. Idola mereka ini bisa berasal dari berbagai penjuru dunia, namun model pakaian yang mereka angkat biasanya serupa.
Nah, kalau kita tidak hati-hati, kebaya dengan model dan cara pakai yang khas, yang sebenarnya bisa memberikan warna pada keanekaragaman budaya dunia, justru akan dilihat oleh para muda-mudi kita sebagai sesuatu yang kuno (karena saat ini, kebaya cuma dipakai oleh ibu-ibu paruh baya ke acara kondangan atau ke acara resmi), tidak trendi (lagi-lagi, karena cuma dipakai oleh ibu-ibu paruh baya yang biasanya mulai malas untuk berkesperimen dengan gaya fashion sehari-sehari mereka). Sehingga para muda-mudi tidak memasukkan tradisi berkebaya dalam radar mereka sebagai sesuatu “kaidah baru yang sama”. Lama-lama, tradisi berkebaya akan hilang perlahan karena muda-mudi kita lebih mengenal dan tertarik pada fashion “modern” dan “trendi” yang mereka kenal lewat media sosial.
Jadi, apa sih perlunya mencatatkan elemen budaya kita ke UNESCO? Apakah kita kemudian akan mendapatkan sertifikat hak kepemilikan? Tentu saja tidak, Ferguso! Dengan mencatatkan elemen budaya (sebut saja “tradisi kebaya”) kita ke Unesco, kita sebenarnya “menyerahkan” budaya tradisi berkebaya kita kepada dunia supaya kita bisa menjaga bersama-sama tradisi berkebaya kita dan juga supaya warga dunia bisa tahu dan bisa belajar dengan benar tentang praktek-praktek kita dalam berkebaya. Kita memberikan informasi kepada warga dunia tentang nilai-nilai kebaya yang kita yakini, sejarah kebaya kita, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan kebaya. Tradisi kita dalam berkebaya akan memperkaya keanekaragaman budaya dunia. Pada akhirnya, diharapkan dengan tercatatnya berbagai budaya dari berbagai komunitas dan bangsa, bisa terjalin dialog antar budaya dengan mudah dan kita sebagai warga dunia dapat saling mempelajari dan menghormati pandangan hidup yang berbeda.