PERSPEKTIF

NGOBROL BARENG NISA ALWIS

Oleh: Martha Sinaga

Nisa saat bersama Santri di Pesantren Darul Iman

Toleran itu Sikapku

Tanya – Apa yang melatarbelakangi sehingga membuat Kumpulan Bakung. Dan sejak kapan aktifnya? Bagaimana perkembangannya, dan jadual rutin? Pesertanya perempuan dan lelaki?

Jawab – Suasana intoleransi agama yang memprihatinkan, terutama pasca kriminalisasi Ahok. Sosok pemimpin teladan namun harus dipenjara karena tekanan massa. Polarisasi sosial terjadi, antara kelompok “bela agama” dan bela Nurani, serta nilai-nilai kebhinnekaan. Di media sosial (medsos) saya mulai melakukan kritik atas situasi ini. Sesama netizen yang memiliki kegelisahan yang sama, kami mulai kopi darat silaturahmi dan berdiskusi.

Fanatisme memang telah menyebar, nampak dalam beragam manifestasi, antara lain simbol-simbol agama yg ditonjol-tonjolkan. Entah itu, bendera, ideologi khilafah, istilah-istilah bahasa, label halal, serba syariah minded, hingga simbol pakaian. Mindset religius yg kebanyakan ini seringkali ironi, dan melemahkan SDM. Lebih bahaya lagi karena mudah dipolitisasi. Kami menyadari, perlu normalisasi.

Tensi beragama yang tinggi perlu relaksasi. Fanatisme buta perlu harus dilawan agar secara mental semua bisa merdeka. Nah, caranya adalah dengan penyadaran atas pentingnya kembali pada nilai-nilai luhur tradisi, adat, karya, filosofi dan budaya kita sendiri.

Sejauh ini, tanpa ada penahan berarti, orang Indonesia gampang dengan identitasnya, dibuat tak menghargai leluhur dan sejarahnya, lebih menjunjung tinggi sejarah bangsa lain, hingga para pribumi nampak seperti orang asing di negerinya sendiri. Saat goyah, tinggal menunggu waktu saja tercerabutnya pohon besar ini dari akarnya.

Kita berupaya menguatkannya sedapat mungkin, dengan menguatkan nilai yang ada dalam pribadi kita. Menghangatkan lagi apa yg selama itu terlupa. Berkain dan kebaya, misalnya. Dahulu, dengan atau tanpa kerudung dan selendang, berbaju kurung atau kebaya dan berkait jarik, tenun, atau songket, sudah sempurna.

Berseni, berbudaya, berakhlak, bertatakrama, tidak ada kurang-kurangnya. Kembalikan kekhasan ini menjadi nilai kebanggaan kita semua. Tak ada yang bisa diandalkan untuk membawa angin perubahan, ketika hampir semua orang di segala lini telah terkontaminasi “hyper-religiosity.” Masing-masing kitalah yang menerapkan sikap fight menjaga mindset kita tetap sehat, perlahan-perlahan agar bangsa ini pun sehat dan kuat.

Tanya – Sesuatu yang berhubungan dengan agama itu biasanya sangat riskan. Bagaimana menyikapinya?

Jawab – Betul. Di medsos sedapat mungkin kami saran pada teman-teman untuk berhati-hati memilih diksi supaya tidak kisruh dengan hal-hal sensitif. Tapi di internal grup, silahkan bebas saja anda mau muntahkan apa. Karena itu memang sengaja menjadi kanal, menyalurkan pandangan. In fact you’re not alone. Dan semua merasakan grup ini hangat sekaligus support system ketika di dunia nyata pressure agama begitu terasa dan dampaknya ke mana-mana.

Perangkat di medsos memungkinkan siapapun untuk menjadi siapa saja, bahkan bisa menjadi pengguna yang berbeda sekali dengan realitasnya, seperti pertukaran identitas kelamin, hubungan perkawinan sampai pada foto profil. Media tidak lagi menampilkan realitas, tetapi sudah menjadi realitas tersendiri, bahkan apa yang ada di media lebih nyata (real) dari realitas itu sendiri.

Tanya – Bagaimana sesungguhnya mbak memandang perjalanan hidup beragama di negeri ini?

Nisa (kiri) dan komunitasnya. Ist

Jawab – Kehidupan beragama di negeri ini perlu diarahkan agar tetap moderat. Kalau ini gagal, mindset masyarakat tersandera oleh segala hal berdasar agama. Persis seperti itu suasana Dark Age Eropa dahulu. Butuh seribu tahun hingga Eropa terbangun lagi dengan Renaissance. Generasi alpha sekarang terlahir dan besar di lingkungan Indonesia yg sudah hijab semua. Mereka dibentuk untuk berhijab juga sejak balita. Jadi di alam pikiran generasi selanjutnya bagi mereka itulah kultur Indonesia. We get lost. Hijab budaya kaum ortodox, bukan milik islam saja. Are we all ready the whole nation being ortodox in this modern world. We’re going backward?

Tanya – Filosofi apa yang dianut dalam menjalani hidup dan mungkin menerapkannya untuk para santri?

Jawab – Islam rahmatan lilalamin. Itu idiom yg sangat bagus. Tinggal implementasinya diperhalus. Beragamalah dengan rendah hati, dengan penuh kasih sayang. Esensi agama itu di akhlak, atau budi pekerti. Bukan di simbol-simbol apapun yang sangat mudah didapat tapi jika hanya bungkusan ya tiada arti. Pembiaran dari negara maupun pemuka agama, ianggap semua wajar saja. Tidak terpikir bahaya latent seperti kehancuran yg terjadi di Suriah dan Afghanistan. Perang saudara akibat intoleransi agama dan intrik politik di dalamnya.

“Banten Keras”

Tanya – Banten cukup dikenal keras pandangan beragama yang dianut. Apa pendapat saudara dan keluarga tentang sikap Mbak Nisa yang lebih berpandangan moderat dalam kerukunan beragama.

Jawab – Keluarga saya tahu dan mengerti pemikiran dan perubahan yang saya pilih. Tidak satupun protes atau menganggap saya salah. Mereka tahu memang ada argumennya. Tidak jarang ada yang bertanya pada mereka mengenai saya, dan mereka menjawab itu semua tanpa masalah. Kami masing-masing berkiprah di masyarakat dengan cara kita yang tidak harus sama. Yang di Pesantren silahkan kelola daily needs di sana. Dan saya sebagai bagian dari Yayasan memberikan support dan feed back yg diperlukan.

Tanya – Menurut Mbak,bagaimana sesungguhnya pemerintah atau kementerian terkait harus bertindak?

Jawab – Harus ada political will, lebih serius memeriksa perda-perda terkait agama yang sudah banyak dibuat. Human Right Watch/HRW (Pengawas Hak Asasi Manusia) sudah memiliki datanya. Harus ada kekuatan hukum, membenahi praktik sehari-sehari. Harus ada standar dan ketegasan. Kenapa SKB 3 menteri harus kalah di tengah jalan? Who is actually ruling the country? Betapa repotnya anak sekolah sekarang. Di semua jenjang sudah harus berbaju panjang. Tidak akomodatif bagi kesehatan fisik dan mental.

Tanya – Pandangan Mbak apa peran ibu atau istri dan perempuan dalam kehidupan masyarakat, yang menyangkut pendidikan?

Jawab – Peran perempuan sama besarnya dengan laki-laki. Dari setiap rumahtangga keduanya menentukan kualitas generasi. Mungkin berbagi peran domestik dan publik, tapi secara wawasan dan sikap ibu dan bapak harus bersama-sama grow up. Seisi rumah perlu strong from home.

Potensi Diri via Perspektif Agama

Tanya – Bagaimana sikap suami dan anak-anak untuk semua kegiatan Mbak yang menyentuh ranah sosoal budaya dan agama?

Nisa dengan busana kebaya yang santun. Ist

Jawab – Suami dan anak saya mendukung dan happy. Tentu ada masa transisi dan suasana tak nyaman, tetapi kami semua bisa diimbangi. Suami menjadi partner diskusi terbaik juga. Kepada anak-anak ia memotivasi agar mereka terus meluaskan pandangan. Jika kita bicara dengan ilmu, maka orang akan segan tidak bisa merendahkan.

Tanya – Bagaimana menurut Mbak, sekolah yang menerapkan hanya ajaran tertentu, sementara ada siswa yang beragama lain?

Jawab – Sekolah idealnya menurut saya harus netral. Muatan pendidikan agama boleh mendapat porsi, tapi kecil saja jangan mendominasi. Di negara maju bahkan sudah lama mata pelajaran agama tidak ada. Karena terkait nilai iman dan keyakinan itu sifatnya private.

Jika didikte kepada khalayak ramai, termasuk pada murid-murid sekolah, bisa kontraproduktif. Sebab diakui, banyak hal dari konsep agama (semua agama) tidak compatible dengan science. Ini bisa dimaklumi, sebab agama lahir ribuan tahun sebelum abad science and technology. Kecuali, jika itu sekolah seminari atau pesantren yg memang targetnya mencetak pendeta dan ahli agama.

Evaluasi dan rombak standar dan sistem belajar. Berikan banyak awareness. Bercerminlah dari negeri maju jika ingin maju. Contoh, ada anak selebriti bahkan dengan bangga mengirim putrinya sekolah di Yaman. A very poor country, di mana perempuan extremely tertutup tak pernah keluar rumah. Apa yg diharapkan dari didikan di sana. Iya, belajar agama. Tapi output-nya domestifikasi. Lagi-lagi tanpa disadari kemunduran direproduksi.

Nisa saat senggang. Ist

Fenomena di sekolah negeri sekarang, sudah nampak sangat agamis. Memang sudah di tahap itu konstruksi sosial kita. Pendidik, baik guru maupun orangtua sudah sama-sama tergiring mindset “serba agama.”

Tanya – Apa yang dikagumi dan terkesan oleh Mbak dengan didikan yang diterapkan orangtua (Ibu dan Bapak)?

Jawab – Beliau memiliki kharisma karena ketenangan dan kedalaman ilmunya. Juga Ketua NU pertama di Banten dan selalu menggelorakan nilai-nilai kebangsaan. Peduli dengan pemberdayaan masyarakat, memiliki cita-cita yang tinggi dan konsisten memperjuangkannya antara lain mendirikan lembaga pendidikan agama. Selayaknya mengajarkan persaudaraan, keberanian, humor dan menjadi orang yang bermanfaat. Ibu saya, perempuan yang sederhana. Aktif dan suportif, penuh perhatian terhadap segenap keluarga dan santri-santrinya.

Mendidik Diri

Tak bisa di sangkal bahwa ketajaman dan kepekaan seseorang dalam rasa dan tindakan semakin tebal dan luas oleh didikan “keindahan yang saling menghargai” dalam lingkungan asalnya. Kepekaan itu akhirnya terasah dan berguna untuk mendidik dirinya sendiri menjadi “manusia” yang sesungguhnya. Care terhadap sesama, juga lingkungan. Kepekaan yang terasah atas sebuah kecerdasan adalah kemerdekaan berpendapat, ketulusan sikap, keindahan cara pikir, dan itu yang menggodok dirinya untuk sampai pada kemurnian dan kesejatian hidup. Bukankah demikian Mbak Nisa Alwis? Semoga!

Bagaimana menurut Anda artikel ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *