PENCATATAN KEBAYA DI UNESCO: UNTUK APA DAN UNTUK SIAPA?

Penulis : D. Kumoratih Kushardjanto, Antropolog.

“Cultural heritage listing is not about copyright, economic gain, or chauvinism, but about solidarity, education, and peace”, demikian komentar singkat Johannes Widodo, pakar _cultural heritage management, di sebuah grup whatsapp menanggapi perdebatan mengenai pengajuan kebaya ke UNESCO. Singkat, namun jelas dan tajam. Saya langsung meminta ijin beliau untuk melanjutkan pesannya kepada ibu-ibu yang sedang memperjuangkan status kebaya sebagai warisan budaya dunia. Apalagi setelah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand mengumumkan secara resmi di media massa bahwa akan mengajukan kebaya sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) ke UNESCO secara bersama-sama (joint-nomination). Tidak adanya nama Indonesia sebagai negara pengusul bersama negara Asia Tenggara lainnya memicu banyak pertanyaan, terutama bagi publik yang awam. ‘Mengapa Indonesia tidak ikut?’, ‘Mengapa Indonesia ditinggalkan?’, belum lagi umpatan dan makian dari para netizen yang langsung memberondong media sosial dari perwakilan negara-negara sahabat pengusul kebaya dengan tudingan seperti: ‘dasar pencuri, kebaya adalah milik perempuan Indonesia!’, ‘jangan klaim warisan kami’, ‘maling, perampok!’, dan masih banyak lagi komentar miring lainnya. Sementara itu, perdebatan tak kalah serunya di lingkaran komunitas ibu-ibu pencinta kebaya yang menjadi jantung dari gerakan “Kebaya goes to UNESCO”. Kelompok yang satu menginginkan pengusulan kebaya dilakukan Indonesia bersama dengan negara-negara pengusul di Asia Tenggara (joint-nomination), kelompok yang lain menginginkan kebaya diusulkan oleh Indonesia secara tunggal (single-nomination)_. Tapi, sebenarnya apa esensi dari hiruk-pikuk UNESCO ini?

•••
Meski secara umum komunitas pendukung kebaya banyak yang memilih untuk joint-nomination, adanya perbedaan pendapat dari pihak yang tetap bersikeras untuk single-nomination bukan merupakan masalah. Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan dalam iklim demokrasi. Tim Nasional Pengajuan Hari Kebaya Nasional (TimNas HKN) yang selama ini menjadi fasilitator dan simpul berbagai komunitas perempuan berkebaya sangat terbuka menerima dan mengakui perbedaan pendapat tersebut sebagai bagian dari upaya edukasi kepada publik. Satu hal yang menurut saya patut diapresiasi adalah bagaimana polemik ini justru menunjukkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa TimNas HKN yang sekaligus memberikan panutan bagi para anggota komunitas bahwa suara dari banyak pihak perlu didengar. Mulai dari suara komunitas pewaris kebaya, masukan pemerintah, masukan para pakar, hingga dukungan publik. Namun demikian, barangkali sudah saatnya pula kita mendengar suara saudara-saudara perempuan kita yang berada di ‘pinggir’ arena perdebatan kita (yang harus diakui sangat elitis). Boleh jadi, pekerja informal perempuan seperti mbok-mbok jamu di desa dan pinggiran kota yang sehari-hari berpakaian kebaya sama sekali tidak ambil pusing dengan hiruk-pikuk “Kebaya goes to UNESCO”.

TimNas HKN sudah mendapatkan rekomendasi resmi dari pemerintah untuk menjalankan program-programnya. Dukungan dan legitimasi ilmiah dari para cendekiawan dalam rangka memperkuat kajian kebaya juga tidak sulit didapatkan. Demikian pula dukungan publik. Saya pikir, sekarang saatnya TimNas dan komunitas pendukung kebaya mulai turun ke masyarakat dengan program-program yang lebih nyata, bukan sekadar selebrasi, tetapi edukasi. Program nyata inilah yang turut memperkuat pengusulan kita ke UNESCO (kalau memang penominasian kebaya ini menjadi tujuan utamanya).

Bagi saya pribadi, isu single-nomination atau joint-nomination bukan merupakan poin utama. Ada atau tidak ada UNESCO tidaklah penting, karena ini hanya merupakan salah satu milestone saja dari upaya mewujudkan visi kita terhadap kebaya. Pertanyaannya adalah: sebenarnya apa visi kita dengan kebaya? Kita mau ke mana dengan kebaya? Apa yang hendak kita perjuangkan melalui kebaya? Kita punya program apa untuk pelestarian dan pembelajaran antarbudaya melalui kebaya?

Pencatatan warisan budaya ke UNESCO berada pada tataran diplomasi budaya di tingkat gagasan. Hal ini berpulang kembali pada komunitas pengusung kebaya: mampukah kita perempuan Indonesia berdialog mewacanakan dan mengoperasionalisasikan gagasan dan konsep-konsep yang mengusung solidaritas, pemahaman antarbudaya dan perdamaian dunia dengan Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand ketika kita ikut dalam joint-nomination? Di sisi lain, nilai-nilai apa yang hendak kita proyeksikan kepada dunia ketika kita memilih single-nomination? Mengutip Hassan Wirajuda, pergaulan internasional hampir tidak ada bedanya dengan dinamika pergaulan antar warga di tingkat RT/RW. Ibarat kehidupan bertetangga dalam keseharian kita, ada kalanya kita saling bergunjing, ada kalanya kita minta garam ke tetangga kita ketika persediaan di rumah habis, ada kalanya kita memberikan bantuan bila tetangga kita tertimpa musibah, ada kalanya pula kita berselisih paham. Toh, kerukunan tetap perlu dijaga. Kembali ke pergaulan antar bangsa, demikian pula persaudaraan dan perdamaian global tetap perlu diwujudkan melalui pemahaman antarbudaya.

Apapun langkah yang akan ditempuh (baik joint-nomination atau single nomination), kita patut berbangga bahwa kita turut aktif melestarikan dan merayakan warisan budaya sebagaimana empat negara sahabat kita. Ini menunjukkan Indonesia adalah bangsa besar yang berjiwa besar, mampu berbagi identitas dan menaikkan harkat dan martabat perempuan bukan hanya di Indonesia, melainkan di Asia Tenggara sebagai saudara serumpun bangsa. Pada titik ini, perlu kita pahami bahwa kebaya adalah obyek yang lahir dari suatu proses pertukaran antarbudaya yang tidak akan pernah berhenti sepanjang masa. Kebaya akan selalu berubah dalam lintasan ruang dan waktu. Oleh karena itu, klaim asli atau tidak asli terhadap kebaya tidak mudah dilakukan sekalipun didukung oleh data arkeologis, sejarah, maupun antropologis. Budaya adalah sesuatu yang cair. Kebaya adalah simbol dari keterbukaan dan dialog lintas budaya itu sendiri.

Kini saatnya TimNas mengambil peran strategis untuk melampaui perdebatan joint-nomination/single-nomination yang berputar di situ-situ saja. TimNas perlu menunjukkan ke masyarakat dan seluruh komunitas perempuan pengusung kebaya yang telah mempercayakan aspirasinya kepada TimNas bahwa kita memiliki tujuan yang lebih besar (lebih besar dan lebih penting dari sekadar ‘daftar’ UNESCO) untuk memajukan, menaikkan harkat dan martabat perempuan Indonesia – yang berwawasan, berkepribadian, dan berbudaya.

Ini hanya catatan kecil yang saya buat semata karena saya mencintai kebaya, dan saya salut dengan komitmen waktu, tenaga, dan pikiran yang diberikan oleh TimNas bersama berbagai komunitas dalam memperjuangkan kebaya. Sekiranya ada yang kurang berkenan, tentunya adalah hak yang bersangkutan. Setidaknya saya berharap kiranya catatan kecil ini bisa mengajak kita semua untuk merenungkan kembali apa sebenarnya makna kebaya untuk kita hari ini.


D. Kumoratih Kushardjanto
Malang, 3 Desember 2022

Bagaimana menurut Anda artikel ini?
+1
0
+1
0
+1
2
+1
1
PERSPEKTIF